MERCUSUAR.CO, Wonosobo – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia sedang menghadapi masa-masa sulit. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, mengungkapkan bahwa kondisi ini diperparah oleh diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. Alih-alih membantu, peraturan ini justru memperburuk situasi dengan memicu persaingan tidak sehat berupa predatory pricing, yang menjual produk di bawah harga pasar dengan tujuan monopoli.
“Sistem perekonomian dalam negeri saat ini gagal dalam melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri,” ujar Liliek dalam sebuah diskusi dan konferensi pers di Kantor API Jawa Tengah di Solo, Selasa, 25 Juni 2024. Diskusi ini juga dihadiri oleh Harrison Silaen dari pengurus nasional API bidang sumber daya manusia (SDM), Direktur Akademi Tekstil Solo Wawan Ardi Subakdo, dan beberapa anggota API Jawa Tengah.
Industri Lokal Terancam Gulung Tikar
Liliek menjelaskan bahwa Indonesia kini menghadapi persaingan ketat dari negara-negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, India, Bangladesh, dan Pakistan. Dengan populasi lebih dari 270 juta, Indonesia menjadi pasar utama bagi produk tekstil Cina yang membanjiri pasar domestik dengan praktik predatory pricing. Hal ini membuat perlindungan terhadap industri lokal, baik melalui tarif maupun non-tarif, menjadi sangat lemah.
“Dampaknya bisa mematikan pelaku usaha lokal, mulai dari industri besar hingga UMKM,” kata Liliek. Data API Jateng menunjukkan bahwa minimal enam perusahaan tekstil skala besar telah gulung tikar, berdampak pada lebih dari 7.000 pekerja.
Peraturan Baru Dinilai Tidak Mendukung Industri Lokal
Permendag Nomor 8 Tahun 2024, yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023, dianggap lebih berpihak pada importir umum daripada mendukung industri TPT domestik. “Dampaknya, bakal membuat Indonesia tenggelam kebanjiran produk garmen atau tekstil impor,” ungkap Liliek.
Harrison Silaen menambahkan bahwa kondisi industri tekstil saat ini merupakan yang terburuk dalam sembilan tahun terakhir. “Banyak faktor yang mempengaruhi, baik pasar, teknologi, regulasi, dan lainnya. Industri tekstil nasional ini ibaratnya sedang sakit dan butuh obat segera,” ungkapnya.
Upaya API Menghadapi Tantangan
API telah berupaya mengajukan solusi ke DPR dan berkomunikasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Namun, usaha mereka belum membuahkan hasil. “Ketika pengurus API negosiasi ke Kemendag soal tidak diajak bicara sebelum Permendag Nomor 8 tahun 2024 terbit, hanya mendapat jawaban sudah terlambat,” ungkap Harrison.
API berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk melindungi industri tekstil nasional dan sumber daya manusianya. “Kami berharap ada proteksi seperti negara lain punya sistem proteksi terhadap industri nasionalnya. Bentuknya berupa regulasi sebagai pengamanan cerdas yang tidak menyalahi WTO,” tutur Harrison.
Dengan industri tekstil yang menyerap 43 persen tenaga kerja di Indonesia, langkah-langkah cepat dan strategis sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan sektor ini dari kehancuran. “Kami, API, masih berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki kinerja kami di industri,” pungkas Harrison.