Hak Cipta Musik Digital

IMG 20230614 WA0116
Gunoto Saparie, Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah

Mercusuar.co, Semarang – Industri musik digital dewasa ini berkembang pesat di Indonesia. Akan tetapi, ironisnya, banyak terjadi pelanggaran hak cipta dalam industri musik. Oleh karena itu, memperkuat perlindungan hak cipta dalam industri musik digital di Indonesia menjadi sangat penting. Hak cipta di Indonesia dilindungi oleh hukum dari tindakan reproduksi, distribusi, dan publikasi tanpa izin dari pemilik hak cipta. Sanksi berupa denda atau bahkan penjara dapat dikenai kepada mereka yang melanggar hak cipta.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, beberapa waktu lalu mengundang para musisi performers, pencipta lagu yang tergabung dalam Komposer Indonesia Bersatu, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk membahas pengaturan pengelolaan hak moral dan hak ekonomi pencipta atas penggunaan karya cipta lagu yang bersifat komersial. Pertemuan tersebut merupakan komitmen DJKI  yang menjadi focal point dalam pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) termasuk pencatatan hak cipta, pelindungan, pengawasan, serta penegakan hukumnya.

Kita tahu, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menjadi dasar pelindungan hak cipta lagu dan/musik.  DJKI juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik serta Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah menjawab kebutuhan para pencipta lagu, komposer, sampai musisi? Ternyata masih ada sejumlah pasal di UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang timpang dan bertentangan satu dengan yang lainnya. Doadibadai Hollo atau yang dikenal dengan sapaan Badai eks Kerispatih mengatakan bahwa ada ketentuan pada Pasal 9 ayat (2), pasal 23 ayat (5), dan Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta yang dia rasakan bertentangan. Pada Pasal 9 ayat (2), negara telah mengatur hak pencipta/pemegang hak cipta dalam mengelola hak ekonominya, termasuk memberikan izin pada pihak tertentu untuk mengomersialkan lagu/musik.

Sedangkan pada pasal 23 ayat (5) menyebut bahwa pelaku pertunjukan komersial bisa melakukan pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui LMK.  Adapun pada Pasal 87 ayat 4 berbunyi “Tidak dianggap sebagai pelanggaran UU ini, pemanfaatan  Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna, sepanjang melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK”. Ini berarti, para komposer merasa pemanfaatan lagu dan/atau musik (hak ekonomi) tetap harus mendapatkan izin dari pencipta/pemegang hak cipta. Hingga sampai saat ini para komposer/pencipta lagu masih merasa dirugikan secara ekonomi dan/moral karena banyak performer telah memanfaatkan lagu/musik tanpa izin.

Harus diakui, perkembangan teknologi yang pesat dapat mendorong sekaligus merusak sebuah tatanan yang telah mapan. Digitalisasi yang merambah bidang musik dan lagu memudahkan musisi untuk memperkenalkan lagu mereka. Meskipun demikian, kemajuan teknologi juga dapat berdampak negatif terhadap hak cipta musik dan lagu di era digital. Dengan teknologi modern dan canggih membuat orang lebih mudah dalam melakukan pembajakan terhadap karya cipta musik dan lagu.

Riset terbaru Koalisi Seni belum lama ini juga menunjukkan bahwa kehadiran platform musik digital tidak diimbangi dengan kebijakan yang dapat melindungi pencipta dan karyanya. Peraturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, belum meladeni perkembangan di industri. Undang-undang itu, demikian Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay, tak hanya bias musik, tetapi juga tidak mengatur secara khusus hak cipta musik digital, termasuk konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pelaku. Padahal kini sebagian besar musisi dan pencipta lagu di Indonesia merilis dan mempromosikan karyanya di platform digital. Peraturan yang ada justru memberi keistimewaan bagi label rekaman dan membiarkan pihak perantara di industri musik berkontrak dengan musisi tanpa rambu-rambu perlindungan yang konkret.

Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni, Ratri Ninditya menambahkan, bahwa dari riset tersebut juga ditemukan situasi industri yang eksploitatif terhadap musisi. Ada pergeseran pola komodifikasi musik dan kepemilikan salinan, baik fisik maupun digital, menjadi penyediaan akses terhadap salinan (streaming) memunculkan aktor-aktor baru seperti aggregator, streaming platform, label rekaman berbasis kekayaan intelektual (KI), label rekaman 360, dan penerbit musik. Hubungan musisi dengan para pelaku baru di dalam industri ini berkembang semakin kompleks dengan berbagai benturan kepentingan. Karena relasi baru yang tercipta antara aktor baru ini tidak seluruhnya diidentifikasi dalam kebijakan hak cipta, seluruh relasi yang muncul dilepaskan pada mekanisme pasar.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agaknya memang perlu direvisi dan memasukkan pasal-pasal yang mengatur perlindungan hak cipta di era digital. Perlindungan terhadap hak cipta pada dasarnya merupakan pemberian hak monopoli, di mana dengan hak tersebut pemiliknya dapat menikmati manfaat ekonomi dan kesejahteraan dari karya kekayaan intelektual yang dipunyainya. Perlindungan hukum atas hak cipta kecenderungannya dimiliki oleh pemegang hak cipta dalam ranah hukum perdata maupun pidana.(djs)
Oleh Gunoto Saparie
Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah

Pos terkait