MERCUSUAR– Sebaiknya rindu ini kusimpan dalam-dalam. Di ruang yang tak diduga. Supaya tak ada yang mengetahui seberapa besar rindu ini. Bak manis madu yang terasa menyesap, bahkan setelah ia tak lagi di bibir. Begitu cinta terasa bagi Irine.
Dua bulan sudah setelah sore yang mengikat kuat. Semua berlalu melebihi bahagia yang pernah direka para pengarang cerita. Tak ada salah yang tak bisa dimaafkan, tak ada rindu yang tak bisa ditemukan. Saat ini atau untuk saat mendatang sekalipun. Mungkin benar cinta yang merah muda adalah cinta tanpa luka. Begitu membara. Hari-hari terasa lebih singkat dari biasanya. Mereka saling berbagi apa yang tak pernah habis untuk dicari. Selalu ada alasan bagi mereka untuk bertemu, bahkan sesibuk apapun Raka dengan aktivitasnya. Ia setiap hari bertemu dan beberapa bulan lagi pergi berpetualang. Apa saja dari mulai bersepeda, duduk-duduk atau hanya melempar lamunan bersama.
Namun, bersama Usy, sahabat Irine yang centil itu, adalah waktu yang memang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Kadang meski lelah ia menghadapi kejenuhan yang harus dikuasai, ia tetap menemukan belahan hatinya. Beberapa kesempatan bahkan waktu bagi mereka demikian sempitnya. Tak berkutik dan bicara tentang apa-apa seharian.
Kebagiaan yang dilaluinya adalah kebahagiaan naik turun. Senyum murung ia lempar begitu saja sebagai sahabat. Hal hal kecil yang dulu sering diabaikan seakan kini meminta tanggungjawab untuk diingat dan dipahami. Seperti kebanyakan remaja, Irine juga memiliki kecemasan. Rasa itu membuat memaksanya untuk kembali berfikir bahwa saat ini adalah masa depan. Belum lagi dia harus memikirkan soal lain, soal asmaranya, pula soal pekerjaannya.
“Tenang saja, kamu harus terus menjalankan setiap pekerjaan agar hidup ini berjalan seperti seharunya,”
Usy memang selalu membuatnya lebih kuat, setidak-tidaknya untuk sekarang dan esok. Akhir-akhir ini, kedua orang tua Irine sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meski masih sempat berdebat di ruang televisi, tak jarang mereka pulang dalam keadaan lelah. Selain meja makan tak ada lagi perhatian yang lebih seperti yang dirasakan dari orangnya. Padahal setiap anak butuh perhatian saat menghadapi sindrom malas. Ditengah situasi yang tidak menentu atas dirinya sendiri. (Bersambung…/Edy P Padjaitan)