WONOSOBO, Mercusuar.co – 78 makam di kawasan Kali Cuthang Desa Ngalian Kecamatan Wadaslintang dibongkar. Makam-makam tersebut dibongkar lantaran tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim bahwa area itu merupakan tempat pemakaman ulama atau wali. DIketahui makam tersebut sudah dibangun selama 2 tahun.
Pembongkaran ini dilakukan atas inisiatif beberapa tokoh masyarakat yang meragukan asal-usul makam tersebut. Dilansir dari beberapa sumber bahwa setelah serangkaian penelusuran dan interpretasi fakta oleh tim, tidak ditemukan bukti sejarah seperti artefak atau dokumen kuno yang bisa menguatkan klaim bahwa lokasi tersebut merupakan situs bersejarah. Makam-makam itu awalnya dibangun pada 2022 di lahan yang berstatus tanah adat atau Governor Ground (GG).
Informasi tentang keberadaan makam muncul dari pendekatan spiritual beberapa tokoh masyarakat, namun sayangnya, tidak ada kajian ilmiah yang mendukung klaim ini. Penelusuran juga mengungkapkan ketidaksesuaian terkait jumlah makam, nama-nama yang terdaftar, serta tidak adanya sumber silsilah yang jelas. Pembongkaran makam dilakukan untuk menghindari pembelokan sejarah dan mencegah masyarakat salah memahami situs tersebut.
Banyak yang meragukan keabsahan klaim bahwa itu adalah makam ulama, sehingga untuk menghindari kebingungan lebih lanjut, 78 batu nisan di area tersebut dihancurkan pada 28 Agustus 2024. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak lagi datang berziarah ke lokasi yang diduga tidak sah secara historis.
Keputusan ini diambil setelah berkonsultasi dengan berbagai instansi dan ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa tanpa adanya bukti konkret, makam Kali Cuthang tidak bisa diakui sebagai situs cagar budaya.
Menurut salah seorang Tim Pembongkar Makam di Kali Cuthang, Arga Balarama, makam ini dianggap hanya sebagai penemuan spiritual yang subjektif, bukan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Setelah berkonsultasi dengan instansi terkait dan ahli sejarah, Tim Penelusuran menyimpulkan bahwa Makam Kali Cuthang tidak dapat diakui sebagai penemuan yang sah karena tidak didukung oleh kajian ilmiah,” ujarnya. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesejarahan dengan bukti yang kuat dan terverifikasi, agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami warisan budaya