Mercusuar.co, Temanggung – Sekitar tiga jam dari Jogja ada sebuah daerah yang terkenal akan produksi kopi dan tembakau. Daerah itu adalah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Suasana sejuk, tenang nan asri menjadi ciri lain dari kabupaten yang dekat dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing ini. Temanggung, yang punya ketinggian antara 500-1450 m, tentu tidak seramai Jogja atau pun Semarang.
Namun, ternyata Temanggung pernah jadi pusat pemerintahan sekaligus peradaban sebuah kerajaan. Adalah Sinuwun Ratu Sanjaya (732-760) yang menjadikan daerah Parakan, Temanggung, sebagai ibu kota Kerajaan Mataram Kedu Darma (Mataram Kuno).
Kejadian ini bersamaan dengan pengubahan nama Kerajaan Kalingga menjadi Mataram yang dilakukan oleh Sanjaya pada 732. Menurut Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), Dr. Purwadi, M.Hum, sejak saat itu orang Temanggung mengalami transformasi kebudayaan. Hal itu sebagai akibat dari kontak dengan budaya luar. Kerajaan Mataram Kedu Darma alias Medang akrab menjalin komunikasi dengan India. Karena itu, unsur Hindu membaur dengan budaya Jawa.
“Kemudian disusul pula dengan hadirnya pengaruh Buddha. Mereka sudah terbiasa hidup dengan ragam budaya,” ucap Purwadi.
Purwadi menambahkan, pendidikan humaniora mendapat tempat utama di Kerajaan Mataram. Ilmu kesusastraan bisa diakses oleh seluruh orang, tidak terbatas pada kelas profesional saja. Bahkan, kata Purwadi, ajaran puisi harus diikuti oleh umum. Selain ilmu bahasa dan sastra, pejabat kerajaan juga menaruh perhatian pada ilmu sejarah, antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan tata negara. Padepokan Ngadiharja pun dibentuk untuk membantu proses pendidikan dan literasi ilmu-ilmu tersebut. Perhatian yang besar pada pendidikan melahirkan sebuah karya yang tak lekang oleh zaman. “Pertumbuhan kesusasteraan Jawa sudah dikenal secara luas dan selang waktu yang cukup lama,” tutur Purwadi.
“Kitab Candhakarana menjadi sumber etika masyarakat Temanggung. Karya sastra yang mengandung nilai filosofis tinggi ini dikaji oleh pembesar istana di Sanggar Kledhung,” jelasnya.
Selain terkenal dengan pendidikan humanioranya, Mataram Parakan juga mengutamakan perkawanan dalam kehidupan sehari-hari. Purwadi menyebutnya dengan konsep mitra yakni sambang, sambung, dan srawung. Pria kelahiran 1971 ini mengatakan, mitra berarti sifat -sifat yang menghendaki persahabatan terhadap semua makhluk. Mitra mengajarkan agar manusia memandang sesamanya seperti keluarga besar. “Manusia wajib saling mengasihi, tolong-menolong, dan saling menghormati,” ucap Purwadi.
“Doktrin kerukunan ini diajarkan di lereng Gunung Sumbing. Murih supeketing memitran, raketing kekadangan,” terang sang alumnus Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Filsafat UGM.
Budaya perkawanan penuh keakraban membuat seperti tidak ada sekat di Kerajaan Mataram. Purwadi bertutur, kadang seluruh pegawai istana diajak Raja Sanjaya untuk berdiskusi di Pesanggrahan Gunung Ungaran. Kebiasaan musyawarah tersebut dilanjutkan oleh generasi penerus Wangsa Sanjaya. Mulai dari Rakai Panangkaran (760-780) Rakai Pananggalan (780-800), Rakai Warak (800-820), Rakai Garung (820-840), hingga terakhir Empu Sindok (929-930).
Purwadi menyebut, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Rara Jonggrang adalah petilasan monumental yang muncul dari sebuah musyawarah. “Pemerintahan Rakai Panangkaran (760-780) meneruskan perjuangan leluhur Mataram Parakan. Dia memang berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya,” kata Purwadi.
“Sebagai kepala pemerintahan kerajaan Mataram Parakan, Rakai Panangkaran cukup berhasil meningkatkan harkat martabat negeri,” bebernya.
Ilmu pengetahuan humaniora dari para pendahulu pun tetap menjadi landasan, siapa pun rajanya yang memimpin. “Pemerintahan Rakai Pananggalan tercermin dari sikapnya yang selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudannya dengan menghormati guru,” pungkasnya.(red)