MERCUSUAR, JAKARTA- Pemerintah pusat menyoroti rendahnya penyerapan anggaran pemerintah daerah (pemda) yang menyebabkan dana ratusan triliun rupiah masih mengendap di perbankan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan hasil pengecekan kas daerah menunjukkan simpanan pemda mencapai Rp215 triliun, lebih rendah dari data Bank Indonesia (BI) yang sebelumnya mencatat Rp233 triliun.
“Data melalui kasnya langsung ke rekeningnya itu sudah Rp215 triliun. Jadi bukan Rp233 triliun, itu data BI. Ada perbedaan Rp18 triliun yang sedang kami cek,” ujar Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (20/10).
Menurut Tito, ada berbagai faktor yang menyebabkan dana pemda belum terserap optimal. Di antaranya, proses lelang yang terlambat, sistem e-katalog yang belum efisien, hingga kebijakan kepala daerah yang menunda pencairan anggaran.
“Banyak juga rekanan yang tidak mau mengambil uangnya dulu, mereka akan mengambilnya di akhir tahun. Ada juga kepala daerah yang mau mengganti kepala dinasnya, sehingga uangnya ditahan dulu,” paparnya.
Tito menilai perbedaan kecepatan antara pendapatan dan belanja membuat pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah tertahan. Daerah dengan pendapatan tinggi tetapi belanja rendah, kata dia, cenderung mencatat pertumbuhan ekonomi yang lemah.
“Kalau pendapatan tinggi, belanja tinggi, biasanya pertumbuhan ekonominya juga tinggi,” ujarnya.
Ia menambahkan pemerintah terus mendorong agar kepala daerah mempercepat realisasi belanja agar ekonomi nasional dapat tumbuh mendekati target 6 persen. Saat ini, inflasi masih terkendali di kisaran 2,65 persen.
Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan agar pemda segera menggerakkan dana tersebut untuk kegiatan produktif. Ia mencatat realisasi belanja APBD hingga September 2025 baru mencapai Rp712,8 triliun atau 51,3 persen dari total pagu Rp1.389 triliun, turun 13,1 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Dananya sudah ada, segera gunakan, jangan tunggu akhir tahun. Gunakan untuk pembangunan yang produktif dan bermanfaat langsung bagi masyarakat,” kata Purbaya.
Ia menjelaskan belanja modal turun lebih dari 31 persen, sementara belanja barang dan jasa berkurang 10,5 persen dan belanja lainnya anjlok 27,5 persen. Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan perlambatan eksekusi anggaran yang berdampak langsung pada perputaran ekonomi daerah.