MERCUSUAR.CO, Jakarta – Pengamat Indonesia asal Boston University Profesor Robert Hefner mengingatkan bahaya jika ormas Islam masuk politik praktis. Untuk itu, Muhammadiyah diminta terus menjaga jarak dengan politik praktis, mengingat akhir-akhir ini salah satu ormas Islam terbesar itu ditarik-tarik oleh kelompok fanatik politik partisan.
Profesor Antropologi itu memandang tarikan politik partisan pada akhirnya hanya merusak keberadaan suatu agama itu sendiri. Namun, dia memuji komitmen Muhammadiyah tetap pada khittahnya yakni berada pada politik kebangsaan.
Prof Hefner menilai pascapesta politik tahun 2019, gejala fanatik politik partisan di Indonesia bukannya melemah melainkan justru menguat seiring dengan menguatnya politik identitas. Berkaca dengan nasib kelompok Kristen Evangelis di Amerika, kata Hefner, justru semakin mundur setelah terlibat dalam politik partisan. Dia pun tidak ingin nasib yang sama terjadi pada Muhammadiyah.
“Yang ada kekhawatiran dari saya, tapi bukan terletak pada Muhammadiyah, tapi pada politik dan kultur Indonesia. Amerika juga mengalami tantangan yang sama bahwa organisasi agama yang secemerlang Muhammadiyah atau organisasi agama apa pun harus betul-betul hati-hati kalau isu-isu politik dalam arti keras, politik massa,” katanya, Jumat (16/4).
Guru besar Antropologi memandang tarikan politik partisan pada akhirnya hanya merusak keberadaan suatu agama. Hefner berharap Muhammadiyah terus aktif melakukan kiprah kebangsaan sembari tetap waspada dari tarikan-tarikan yang ada. “Ada suatu keamanan bahwa yang dijalankan adalah politik moril, politik yang fair dan politik yang seimbang, dan sekali lagi tidak tergoda seperti Kristen Evangelis di Amerika,” katanya.
“Menurut saya politik yang dijalankan oleh Pimpinan Muhammadiyah merupakan model dari keterlibatan orang agamis dalam bidang umum, dalam bidang politik, sosial dan lainnya, inilah sebuah contoh untuk organisasi lain di Indonesia dan negara-negara lain terutama umat agama yang lain,” katanya.
Menurut Hefner Muhammadiyah berhasil membawa wajah baru bagi pendidikan Islam modern yang ideal tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia muslim secara umum. Sebelum Muhammadiyah lahir, sistem pendidikan di dunia muslim umumnya menggunakan sistem mulazamah (komunitas kecil), madrasah (lembaga sekolah) ataupun jamiah (pendidikan tinggi).
Wajah pendidikan Islam dalam arti madrasah menurut Hefner baru bermula pada akhir abad ke-18 dengan sistem pengajaran klasik melalui pendirian berbagai pondok pesantren tradisional. Pendidikan pun seputar Alquran, Hadis, kitab hukum (ushul fiqh) dan ilmu pokok (ushuluddin) di dalam Islam. Sedangkan sumber-sumber pengajaran (kurikulum) hampir dipastikan berasal dari Timur Tengah.
“Kali ini baru setengah abad setelah perkembangan madrasah (tradisional), Muhammadiyah memberikan sumbangan krusial dalam kultur agamis, yakni perguruan tinggi Islami yang baru, yaitu madrasah dalam arti Muhammadiyah,” jelas Hefner.
Lahirnya berbagai amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang selain agama, Hefner mencontohkan pandangan keagamaan Muhammadiyah memandang hukum dan realitas. ‘’Atas kesesuaian pemahaman dan pengamalannya di berbagai bidang itu, Muhammadiyah dianggap Hefner berhasil menyelamatkan tradisi politik maupun tradisi sosial dari krisis yang beberapa kali terjadi di Indonesia,’’ katanya.