MERCUSUAR.CO, Sukoharjo – Dewan Pengurus Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPN PPDI) mendesak agar revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat berpihak pada perangkat desa. Sebab, selama ini profesi perangkat desa masih diabaikan. Padahal mereka juga sama-sama mengabdi kepada bangsa dan negara.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN) PPDI, Widi Hartono, di sela acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Sukoharjo, Sabtu (14/1/2023), mengatakan, di tengah suhu politik yang sedang menghangat, kemudian isu revisi UU Desa yang mengemuka, Dewan Pengurus Nasional (DPN) dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) PPDI berinisiatif untuk mempersiapkan diri.
“Apabila memang Undang-undang Desa itu ada revisi tentu ada beberapa hal yang seperti saya sampaikan di beberapa media bahwa revisi ini hendaknya meluruskan yang bengkok, memperkuat yang kurang kuat, mempertegas yang kurang tegas, dan memperjelas yang kurang jelas dalam pasal-pasal dalam Undang-undang Desa itu,” ujar Widi.
Menurutnya, saat sekarang ini setelah UU Desa lahir di tahun 2014 kemudian ada Undang-undang Cipta Kerja, UU Desa seperti terkebiri. Kepala Desa tidak lagi seorang yang memiliki kekuatan untuk membangun desanya sesuai prakarsa desa.
“Hasil Musrenbangdes itu kadang-kadang setelah Undang-undang Desa ini terlibas oleh Undang-undang Cipta Kerja, basis pembangunan desa itu berbasis sinergitas, sehingga tidak murni lagi itu skala prioritas yang dibangun oleh desa,” katanya.
Widi menjelaskan, aparatur pemerintah desa adalah pembantu kepala desa yang terdiri dari unsur sekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris desa dan kepala urusan, kemudian unsur kewilayahan atau kepala dusun dan unsur pelaksana teknis. Dalam ketentuan sistem penyelenggaraan pemerintahan desa, aparatur pemerintahan desa harus diperkuat.
“Mereka ini juga mengabdi untuk bangsa dan negara, namun profesinya belum diakui. Dan pada saat revisi Undang-undang Desa nanti profesi perangkat desa harus diakui sebagai sebuah profesi yang harus memiliki hak gaji, tunjangan, dan pesangon saat purna tugas,” jelasnya.
Kemudian dalam rangka membangun desa, lanjut Widi, seharusnya Dana Desa yang masuk ke desa kurang lebih diangka 15 persen. Karena apa, dari angka 15 persen itu salah satunya gaji harus berasal dari Dana Desa. Sehingga tidak tergantung oleh ADD. Karena jika menggunakan ADD ada daerah yang tidak mampu sehingga merepotkan keuangan daerah.
“Gaji kepala desa dan perangkat itu harus bersumber dari Dana Desa, sehingga kita memerlukan Dana Desa itu kurang lebih 15 persen,” ujarnya.
Widi menegaskan, tuntutan riil DPN PPDI adalah penguatan sistem penyelenggaraan pemerintahan desa. Karena penguatan sistem itu ada pemerintahan desa ada lembaga desa seperti BPD, LPM, dan lainnya. Kemudian ada Dana Desa.
“Ini satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan dan harus terpenuhi,” ujarnya.
Sementara itu, Penasehat sekaligus Penggagas DPN PPDI, Ubaedi Rosydi, mengatakan bahwa regulasi Undang-undang ini belum sempurna dilaksanakan oleh semua pemerintah daerah, sehingga lex generalis dari undang-undang maupun Peraturan Pemerintah ini belum sempurna dijabarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Pihaknya mendorong DPN PPDI untuk segera melakukan koordinasi dengan Kemendagri, Gubernur dan Bupati agar melaksanakan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan lex generalisnya. Karena selama ini banyak yang belum paham tentang pemberhentian perangkat desa.
“Ironisnya lagi banyak perangkat desa yang diberhentikan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, artinya dari sisi inilah kita akan mencoba untuk mengingatkan dan memperjuangkan pada sisi diskriminasi pada undang-undang yang sudah berlaku. Ini cukup fatal, beberapa daerah banyak diberhentikan di tengah jalan, padahal normatifnya sesuai dengan Undang-undang sampai pada 60 tahun. Ini yang sudah terjadi,” ujarnya.
Pihaknya juga berpesan agar DPN PPDI selalu menjaga netralitas, karena kepentingan politik ini cukup bias. Terlebih saat ini memasuki tahun politik.
“Jadi kita masih dalam satu ruang lingkup pemerintahan, kita harus mampu menjaga marwah pemerintahan desa, sehingga tidak terombang-ambing dengan politik,”
Sementara itu, agenda Rapimnas di Sukoharjo dihadiri seluruh pimpinan wilayah dan daerah. Ada empat DPW yakni Jateng, Jatim, dan Jabar, dan DIY yang hadir tatap muka. Sedangkan yang lain mengikuti Rapimnas secara virtual.