MERCUSUAR, WONOSOBO – Semangat kebangkitan dan kebersamaan mewarnai peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Sejak Kamis pagi (23/10/2025), Lapangan Desa Patakbanteng dipenuhi ribuan warga Nahdlatul Ulama (NU) yang datang dari berbagai penjuru ranting. Bendera hijau-putih berkibar, lantunan shalawat menggema, dan aroma kebersamaan terasa di udara dataran tinggi Dieng yang sejuk.
Tahun ini, peringatan HSN terasa begitu istimewa. Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kejajar menghadirkan tokoh nasional: Cak Islah Bahrawi, Direktur Jaringan Moderat Indonesia, dan Gus Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil), intelektual muda NU yang dikenal pengetahun kitab fikihnya .Keduanya menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian ribuan jamaah, sekaligus mempertegas semangat santri untuk terus berkontribusi bagi bangsa dan desa.
Lebih dari sekadar seremonial, peringatan ini menjadi momentum penting bagi sinergi antara MWC NU dan pemerintah desa se-Kecamatan Kejajar, terutama dalam bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, serta penguatan nilai-nilai ke-NU-an di tingkat akar rumput.
Ziarah Leluhur: Menyapa Akar Spirit Santri
Rangkaian acara dimulai hari kamis pagi, (23/10/2025), dengan ziarah ke makam para pendiri dan sesepuh NU. Ratusan anggota Banser, Ansor, Fatayat, Muslimat, serta para santri dari lembaga-lembaga pendidikan NU berangkat bersama dalam iring-iringan yang penuh khidmat.
Lima titik makam utama di wilayah atas, tengah, dan bawah Kecamatan Kejajar menjadi tujuan. Doa-doa dilantunkan, tahlil bergema, dan air mata haru menetes di antara dinginnya embun Dieng pagi hari.
“Ziarah ini bukan sekadar mengenang, tetapi meneguhkan kembali semangat perjuangan dan pengabdian santri bagi bangsa,” ujar Ahmad Mudlofi, Ketua Panitia HSN Kejajar 2025.
Menurutnya, ziarah menjadi cara warga NU menghormati perjuangan para ulama yang telah menanamkan nilai keislaman, kebangsaan, dan cinta tanah air di bumi Wonosobo.
Dari catatan panitia, pengajian akbar pada Kamis siang dihadiri sekitar 5.000–6.000 peserta, dibuktikan dengan jumlah nasi box yang dibagikan kepada jamaah. “Alhamdulillah, antusiasme Masyarakat kecamatan kejajar luar biasa,” imbuh Mudlofi.
NU dan Pemerintah Desa: Sinergi untuk Kemandirian
Acara puncak berlangsung di halaman Masjid Al-Fatah, Desa Patakbanteng, yang menjadi saksi berbagai momen penting bagi warga Kejajar.
Suasana haru menyelimuti ketika dilakukan penyerahan bagi hasil investasi usaha pembibitan kentang bersertifikat, hasil kerja sama antara MWC NU Kejajar dan Lembaga Pengembangan Pertanian NU.
Program ini menjadi bukti bahwa NU di Kejajar tidak hanya fokus pada kegiatan dakwah dan keagamaan, tetapi juga berjihad di bidang ekonomi.
“NU bukan hanya bicara soal pengajian, tapi juga kemandirian ekonomi umat. Usaha pembibitan kentang bersertifikat ini bagian dari jihad ekonomi kami,” tegas H. Khudlaefah Madjid, Ketua MWC NU Kejajar.
Dalam momentum yang sama, dilakukan juga penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara MWC NU Kejajar dan seluruh pemerintah desa se-Kecamatan Kejajar.
Kesepakatan itu mencakup kerja sama dalam bidang pemajuan pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan optimalisasi potensi desa.
Penandatanganan dilakukan secara simbolis oleh Joko Tri Sadono, Ketua Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Kejajar dan ketua tanfidziyah MWC NU . Khudlaefah Madjid , disaksikan Camat Kejajar Choirul Anam, SH dan para tokoh Masyarakat dan semua pengunjung.
“Sinergi antara pemerintah desa dan MWCNU akan menjadi fondasi penting dalam membangun pendidikan berbasis nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan,” ujar Camat Choirul Anam.
Menurutnya, desa memiliki potensi luar biasa, dan jika bersatu dengan gerakan sosial keagamaan seperti NU, hasilnya akan menjadi kekuatan besar untuk kemajuan umat.
Gus Ulil: “Santri Adalah Penjaga Peradaban”
Salah satu momen paling ditunggu dalam peringatan HSN Kejajar 2025 adalah mau’idhoh hasanah dari Gus Ulil Albab.
Dengan gaya khasnya yang tenang namun menggugah, Gus Ulil mengajak para santri dan warga NU untuk tidak melupakan akar tradisi, tetapi juga berani menatap masa depan.
“Santri sejati adalah mereka yang cinta ilmu dan menjaga tradisi. Karena ketika warga NU kehilangan tradisi, maka hilang pula peradabannya,” ujar Gus Ulil di hadapan ribuan jamaah.
Ia menegaskan bahwa NU adalah rumah besar yang menampung berbagai perbedaan pandangan, di mana perdebatan ilmiah dalam bahtsul masail menjadi bukti bahwa NU selalu mengedepankan keilmuan dan toleransi dan terbuka dalam perbedaan.
“Santri adalah penjaga peradaban. Dari pesantren lahir ulama, pemimpin, dan pejuang bangsa. Jangan pernah lelah berjuang di jalan ilmu dan kebajikan,” pesannya
Gus Ulil juga menyinggung pentingnya santri untuk melek teknologi. Dunia digital, katanya, tidak boleh hanya diisi oleh suara-suara kebencian. “Tugas santri adalah menebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin di dunia nyata maupun dunia maya,” ujarnya.
Cak Islah Bahrowi: “Santri Harus Cerdas dan Tidak Gampang Diadu”
Sorotan utama datang dari Cak Islah Bahrawi, narasumber nasional yang dikenal dengan gaya orasinya yang lantang, cerdas, dan memantik semangat.
Dalam ceramahnya, Cak Islah mengingatkan bahwa sejak masa kolonial hingga kini, NU selalu menjadi benteng kebangsaan yang sering diserang oleh berbagai pihak.
“Menjadi NU itu tidak selalu nyaman. Sejak zaman Belanda, Jepang, hingga sekarang, kita sering dimusuhi. Tapi satu hal pasti—NU tidak pernah berkhianat pada Republik,” tegasnya.
Cak Islah mengajak jamaah agar tidak mudah terhasut oleh propaganda dan fitnah, terutama di media sosial. Menurutnya, banyak narasi yang sengaja dibuat untuk merusak citra pesantren dan santri.
“Selalu ada pihak yang ingin menghancurkan NU dengan cara menjelek-jelekkan pesantren. Karena itu, santri harus cerdas, waspada, dan melawan dengan ilmu serta akhlak,” serunya.
Dalam orasi yang berapi-api, Cak Islah menyinggung soal budaya dan kemanusiaan.
“Indonesia punya budaya sendiri. Jangan bawa budaya Arab ke sini. Sohifatul Madinah dibuat atas kesepakatan antar suku, sama seperti Pancasila—berlandaskan musyawarah, bukan paksaan,” tegasnya.
Ia menekankan, “Seseorang harus menjadi manusia dulu sebelum mengenal agama. Jangan gelisah dengan perbedaan, karena rahmat Allah justru hadir dalam keberagaman.”
Cak Islah juga mengingatkan pentingnya pendidikan dan ilmu sebagai benteng peradaban, bahwa kehancuran peradaban selalu berawal dari kebodohan dan kemalasan berpikir.
“Islam pernah jaya di masa lampau dimana ilmuwan islam melakukan banyak penelitian tentang sciein . Jangan sampai kita menjadi sampah peradaban hanya karena malas belajar dan tidak berilmu,” ujarnya.
Menyinggung banyaknya ancaman terhadap dirinya karena sangat lantang dalam berbagai ceramah, podcast dan orasibya, Ia menutup dengan seruan kuat, “Kalau untuk NU, nyawa pun siap diserahkan. Mari kita dorong generasi muda NU agar belajar sampai ke luar negeri, supaya mereka bisa mengawal peradaban dunia dengan ilmu dan tradisi NU. Ujar pria yang pernah keliling dn mendatangi hampir setengah belahan dunia ini ”
Momentum Persatuan dan Kepedulian Sosial
Setelah berbagai rangkaian acara, siang hari di Kejajar berubah menjadi lautan manusia. Ribuan jamaah mengikuti tahlil akbar, doa bersama, dan pengajian penutup yang dipimpin para kiai sepuh.
“Semangat gotong royong warga NU Kejajar ini luar biasa. Dari ziarah, tahlil, hingga pengajian akbar—semuanya mencerminkan nilai luhur santri: cinta tanah air, hormat kepada ulama, dan peduli sesama,” ujar H. Khudlaefah Madjid dengan mata berbinar.
Acara ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube di tautan https://www.youtube.com/live/r0OIHlXPXq0, sehingga warga yang tidak hadir tetap bisa mengikuti suasana haru dan semangat dari kejauhan.
Hari Santri: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia
Tahun ini, Hari Santri Nasional mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”.
Bagi MWCNU Kejajar, tema ini bukan sekadar slogan, melainkan panggilan untuk bergerak nyata.
Dari dakwah hingga pertanian, dari pendidikan hingga pemberdayaan ekonomi, semua dijalankan dengan semangat khidmah dan cinta tanah air.
“Santri zaman sekarang harus berani tampil di semua lini. Jangan hanya di masjid dan pesantren, tapi juga di bidang ekonomi, teknologi, dan pemerintahan,” pungkas Cak Islah di akhir ceramahnya.
Ia menegaskan bahwa santri harus tampil bukan sebagai penonton, tetapi pelaku perubahan. “Kalau dulu santri ikut merebut kemerdekaan, sekarang tugasnya menjaga dan mengembangkan peradaban,” ujarnya ( Taf)
Dihadiri Tokoh NU Nasional, Hari Santri di Kejajar Sedot Ribuan Pengunjung
