Adab Menuntut Ilmu, Belajar Dari Pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa

OKE TEBUIRENG MG 2876 1 560x373 1

Mercusuar.co, Semarang – Menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adab al-muta’allim.

Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir ‘alaihima as-salam.

Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi:   قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Artinya: Musa berkata kepadanya (Khidir), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?”

Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat.

Diceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”.

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”.

Dua hadits Nabi di atas secara tersirat menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang membahari itu.  

Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang.

Kendati demikian, saat memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam masih menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan.  

Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain.

Dikutip Mercusuar.co dari laman web NU Online, sembilan adab atau akhlak dalam mencari ilmu, pelajaran dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS. Di antaranya adalah:

1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ atau rendah hati terhadap guru,

2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa,

3. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru,

4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah,

5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru,

6. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru,

7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial,

8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji,

9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain.

Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;    إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه   Artinya: “Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR. Bukhari-Muslim).

Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang.(dj)

Pos terkait