MERCUSUAR.CO, Jakarta – Langkah pemerintah yang akhirnya membatalkan rencana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada sembilan bahan pokok (sembako), merupakan keputusan tepat.
Pembatalan pemberlakuan PPN sembako ini dinilai dapat membantu menjaga daya beli masyarakat yang sudah banyak melemah akibat pandemi Covid-19.
Walaupun pembatalan pemberlakuan PPN sembako belum final, dikecualikannya sembilan bahan pokok dari objek yang dikenai PPN perlu diapresiasi.
“Pandemi Covid-19 menyebabkan pendapatan sebagian masyarakat berkurang bahkan hilang. Hal ini menyebabkan daya beli menjadi rendah,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.
“Mereka memilih mengonsumsi pangan murah dan mengenyangkan yang belum tentu bergizi. Kalau (PPN) dikenakan sembako, komoditas pokok ini dikhawatirkan menjadi semakin tidak bisa dijangkau,” paparnya.
Pemerintah akhirnya membatalkan rencana pemberlakuan PPN terhadap barang barang kebutuhan pokok atau sembako.
Di antaranya, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.
“Secara umum kenaikan harga, termasuk dengan pengenaan PPN, akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat padahal, belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional di saat sulit seperti sekarang ini,” lanjutnya.
Pengenaan PPN pada sembako tidak saja akan meningkatkan harga pangan dan karenanya mengancam ketahanan pangan, bukan hanya bagi yang berpendapatan rendah, tetapi juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum.
“Tingginya harga bahan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah,” jelas Aditya.
Pangan merupakan salah satu komponen utama pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.
PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.