Mantan Buruh Mingran Sukseh Usaha Batik

4aburuh wsb ang2
Batik

Mercusuar.co, Wonosobo – Sakdiyah (56) mulai menjadi buruh migran di Negeri Singa mulai tahun 1993 hingga 1995. Kemudian pulang ke Wonosobo dan bekerja di sebuah pabrik besar yang kini telah kolaps. Lalu Sakdiyah berangkat lagi ke luar negeri, kala itu tujuannya Hongkong selama dua tahun.

Setelah beberapa tahun menjadi buruh migran dia memutuskan kembali ke Tanah Air. Usaha batiknya kini terus berkembang, hingga membuat ia tak ingin kembali merantau ke negeri orang lagi.

“Ya saya ingin memperbaiki perekonomian keluarga awalnya. Lalu saya ingin punya rumah yang lebih baik dan berangkat ke Hongkong dua tahun. Setelah itu saya pulang untuk istirahat selama sebulan malah hamil, dan gantian suami yang pergi ke Jepang,” kata Sakdiyah yang ditemui di Rumah Batik Abirama miliknya, Rabu (4/1).

Perjalanannya menjadi buruh migran tak sampai di situ saja, usai suaminya pulang kerja dari Jepang selama lima tahun, dia pun kembali lagi ke Hongkong. “Saya memenuhi janji pada majikan, setelah saya melahirkan dan anak-anak bisa ditinggal saya kembali lagi. Kebetulan dua anak yang besar juga kuliah jadi butuh biaya banyak,” kata ibu tiga anak ini.

Sakdiyah pun bercerita pengalamannya menjadi asisten rumah tangga di Singapura. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi selain risiko jauh dari keluarga, juga dia tak boleh menjalankan ibadah sholat. Belum lagi saat harus mengolah masakan berbahan dasar babi.

“Saya ditanya berapa kali sholat, saya jawab tiga kali. Karena subuh dan isya itu kan memang waktu kita, dan pakai mukena pun yang penting tidak warna putih. Kalau mengolah babi juga saya langsung mandi mandi najis 7 kali pakai tanah di sana itu susah cari tanah. Untung kemudian saya menemukan sabun yang mengandung tanah,” kenang Sakdiyah.

Setelah menghabiskan kontrak kerja di Hongkong, baru lah Sakdiyah memutuskan pulang ke Tanah Air. Dia pun mulai ikut beragam pelatihan bagi perempuan purna buruh migran, dan singkat cerita dia menemukan passion nya untuk membuat kain batik bersama kelompoknya.

“Ya saya tadinya ingin membuat olahan sirup salak, tapi saat pelatihan itu kuotanya tinggal membatik saja. Dulu namanya Batik Bumi Tanoshi, tapi berubah jadi Abhirama yang artinya juga menyenangkan jadi agar buruh migran yang pulang itu bisa senang di Tanah Airnya dan bisa usaha sendiri. Sehingga tak perlu kembali lagi,” kata Sakdiyah sembari merapikan lembaran kain batik.

Seiring berjalannya waktu, usaha batik yang dirintis sejak 2015 terus berkembang. Hingga kini sudah ada 15 motif yang telah mendapatkan hak paten, antara lain kawah sikidang, mawar biru, alas saba, dan masih banyak lagi. Dalam satu bulan dia bisa memproduksi 10 lembar batik tulis dan 40 lembar batik cap.

“Kain batik ukurannya 2,15 meter harganya mulai Rp150 ribu tergantung motif dan cara pembuatannya. Omzetnya lumayan bisa sampai Rp10 juta per bulan. Batik kami juga sudah sampai Singapura itu kemarin pembeli melalui instagram, Riau, dan masih banyak lagi,” kata Sakdiyah.

Sakdiyah mengaku tak ingin kembali lagi menjadi buruh migran. Dia mengaku ingin dekat dengan keluarga dan membesarkan rumah batiknya.

“Di tempat saya tinggal ada sekitar 150 orang buruh migran, ada beberapa yang masih belum pulang. Ya harus terap semangat kami sudah usaha dan harus mempertahankan. Kalau masyarakat ada yang ingin kerja di luar negeri, berangkatlah dengan yang resmi,” tutup Sakdiyah.

Pos terkait