Gedung Djawa Hookokai, Saksi Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia di Semarang

gedung kampus untag

Mercusuar.co, Semarang – Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Semarang berawal dari Gedung Djawa Hookokai dan peran para jurnalis kala itu.

Ketika itu, pada hari Jumat 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB baru saja dilakukan pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh wakil bangsa Indonesia Soekarno-Hatta di Jakarta.

Bacaan Lainnya

Tak lama berselang, kabar Kemerdekaan Indonesia disiarkan melalui Kantor berita Domei (milik Jepang) berkedudukan di Pasar Baru Jakarta.

Yang menyiarkan kabar tersebut adalah R Soegiarin (dimakamkan di TPU Bergota Semarang), melalui berita morse atas perintah Adam Malik selaku pimpinan Kantor Berita Domei.

Berita Proklamasi Kemerdekaan sampai pula ke Kantor Berita Domei Perwakilan Semarang berkedudukan di Jalan Pemuda No 49 (dulu Bodjong), tepat berada di depan Gedung Djawa Hookokai. Sekarang bekas Kantor berita Domei di tempat atau menjadi Hotel Louis Kane.

Setelah disiarkan melalui siaran morse oleh R Soegiarin, berita diterima oleh Markonis Kantor berita Domei Semarang dan kemudian dibawa oleh seorang wartawan bernama Sjarief Soelaiman ke Gedung Djawa Hookokai yang kebetulan saat itu sedang dilakukan Rapat Komite Persiapan Indonesia Merdeka di bawah pimpinan Mr Wongsonegoro selaku Fuku Syuutjookan atau Wakil Residen Semarang.

Sampai di Gedung Djawa Hookokai, Sjarief Soelaiman menemui MS Mintardjo (teman wartawan Domei) yang tengah mengikuti dan meliput rapat. Sjarief mengajak MS Mintardjo yang berada di tengah rapat turun ke lantai bawah untuk mengabarkan berita Proklamasi yang baru diterima dari siaran Domei Jakarta.

Sjarief Soelaiman menyampaikan kepada MS Mintardjo bahwa naskah aslinya sudah dikirim ke Surat Kabar Sinar Baru, satu-satunya Surat Kabar yang terbit di Semarang berkantor di Jalan Purwodinatan.

Naskah tersebut kemudian diserahkan oleh Mr Wongsonegoro yang tengah memimpin rapat oleh MS Mintardjo. MS Mintardjo meminta agar Mr Wongsonegoro bersedia membacakannya di depan sidang majelis yang pesertanya datang dari berbagai daerah.

Kabar berita Proklamasi tersebut awalnya disangsikan oleh Mr Wongsonegoro, namun karena penjelasan Sjarief Soelaiman dan MS Mintardjo, maka Mr Wongsonegoro pun bersedia membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk kali pertama di Semarang di hadapan sidang yang ada di lantai 2 gedung Djawa Hookokai.

“Djakarta 17/8 (domei) proklamasi titik kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia titik hal2 jang mengenai pemindahan dan lain2 diselenggarakan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja titik djakarta 17-8-1945 titik atas nama bangsa Indonesia soekarno-hatta titik” Naskah proklamasi ini dibacakan oleh Mr Wongsonegoro berulang 2 kali. Para hadirin yang menyaksikan dan mendengarkan langsung bertepuk tangan riuh rendah.

Sidang majelis kemudian dinyatakan selesai dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menyerukan ‘Hidup Bung Karno.. Hidup Bung Hatta…Hidup Bangsa Indonesia..”.

Hari mulai siang mendekati salat Jum’at. Naskah berita proklamasi kemerdekaan kemudian dibawa ke Masjid Besar Alun-alun Semarang (Kauman).

Disaat khatib hendak memulai khotbah Jum’at kemudian dibacakan kabar proklamasi di hadapan jamaah. Kebetulan saat itu pelaksanaan salat Jum’at disiarkan langsung oleh Radio Semarang Hoso Kyoku (milik Jepang meski banyak pegawainya pribumi).

Pada saat penyiaran, para pegawai radio banyak yang tidak mengerti sebelumnya. Hingga saat tersiar, para pemimpin radio yang masih dijabat oleh orang Jepang langsung bertindak mendatangi masjid. Sebelum selesai khotbah, siaran langsung tersebut langsung diputus oleh Kepala Radio Semarang.

Kabar berita proklamasi kemerdekaan juga diterima oleh wartawati Harian Sinar Baru bernama Gadis Rasjid. Kabar ini diterima dari pegawai wanita Kantor Berita Domei Semarang bernama Soetinah, sekitar 11.30 WIB.

“Zuz Gadis..zus Gadis..ini ada berita penting. Ambil kertas lekas-lekas, harap catat. Mari saja bacakan ,” kata Soetinah melalui percakapan telepon kepada Gadis Rasjid.

Gadis Rasjid yang menerima kabar Indonesia Merdeka langsung gugup dan kakinya gemetar.

Kemudian dia menghadap kepada Hetami selaku Managing Editor Harian Sinar Baru yang saat itu masih berada di kantor. Di hadapan Hetami, Gadis Rasjid tak sanggup berkata-kata dan hanya menyodorkan catatan yang disampaikan Soetinah. Hetami pun mengambil dan membacanya.

“Ini disiarkan cepat…,” ujar Hetami.

Hetami pun segera menyusun Bulletin Khusus untuk Kabar Kemerdekaan Indonesia. Saat itu pula Hetami menyiapkan mesin cetak Heidelberg yang kecil untuk segera mencetak dan menyebarkannya dalam bentuk bulletin.

Upaya Hetami mencetak bulletin nyaris gagal karena ada karyawan bagian tata usaha yang melapor ke Jepang dan berakibat Kantor Redaksi Harian Sinar Baru di Jalan Purwodinatan No 22-26 Semarang didatangi tentara Jepang dan digeledah.

Zetsel yang telah disusun pun diobrak-abrik oleh perwira tentara Jepang yang datang. Demi keamanan Hetami pun membubarkan karyawannya yang tengah siap melakukan pekerjaan mencetak bulletin. Jepang pun meninggalkan kantor Sinar Baru.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Hetami menelepon rumah Gadis Rasjid dan memintanya kembali ke kantor untuk melakukan tugas mencetak bulletin. Usai mencetak, ternyata Hetami mengumpulkan para muridnya dari SMT (Sekolah Menengah Teknik ) Semarang (sekarang STM III-IV) untuk mengedarkan bulletin.

Gerakan Hetami menyiarkan kabar Kemerdekaan Indonesia ini justru melalui Bulletin, bukan Harian Sinar Baru yang kala itu dipimpin oleh Parada Harahap. Parada Harahap sendiri belum bisa mempercayai kabar Proklamasi Kemerdekaan.

Bahkan dia menganggap proklamasi sepihak dilakukan oleh oknum-oknum Indonesia saja. Sementara yang dia fahami Kemerdekaan telah dijanjikan oleh Tenno Heika yang masih digodog Dokuritsu Zyumbi Inkai.

Parada Harahap masih dalam keraguan, bahkan saat Sinar Baru sudah membuat zet cetak, dibatalkan hanya karena khawatir proklamasi dianggap memberontak terhadap saudara tua (Jepang). Sinar Baru akhirnya dalam tekanan Jepang dan hanya menyiarkan berita-berita dari Gunseikanbu semacam kantor Infokom Jepang.

Namun demikian para karyawan berjuang gigih untuk terbitan yang menguntungkan Jepang justru korannya tidak disampaikan kepada pembaca atau pelanggan. Melainkan dikumpulkan dan dibakar. Bojong 89 markas Pemuda Pertahanan Kemerdekaan di Jalan Pemuda (Bodjong) No 89 Semarang yang dulu ditempati sebagai Markas Angkatan Muda.

Sejak Indonesia mencapai Kemerdekaannya, kemudian para pemuda Semarang yang dimotori Bambang Suprapto, S Karna, Ibnu Parna, Martadi, Rochjati, Bambang Subandono, Soewarso, S Broto dan lainnya membentuk Barisan Angkatan Muda.

Mereka bermarkas menempati Gedung di Jalan Bojong 89. Maka kala itu Bojong 89 sebagai pengendali Gerakan Perjuangan Rakyat Semarang. Karena dari Gedung ini juga dibentuk barisan Angkatan Muda wilayah Pekalongan (Slamet Soenarjo dan Arsad), Hamid Effendi untuk Pati, Harsono untuk Surakarta, Soenarto untuk Kedu dan Soetojo untuk Banyumas.

Angkatan Muda bertugas mengambil alih kekuasaan atas aset yang masih dikuasai Jepang. Termasuk juga menerbitkan pamflet-pamflet perjuangan. Dengan adanya Gerakan Angkatan Muda yang dikomando dari Bojong 89, maka pada 1 Oktober 1945 sudah banyak gedung-gedung jawatan dan aset yang dikuasai Jepang telah berhasil diambil alih Angkatan Muda.

Misalnya Semarang Insatu Kezyoo (perusahaan percetakan), Djawa Denki (Perusahaan Listrik). Kemudian Eiga Haikyu Sya (Perserikatan Peredaran Film Indonesia), Daiken Sangyo KK (Pertenunan Rakyat Indonesia), Naya Soko Kabushiki Kaisya (Kantor Urusan Pergudangan), Tyubu Zidosya Kyoku (Kantor Urusan pengangkutan), Tyubu Syokuryo Kanri Kyoku (Kantor Badan Pengawas Bahan Makanan) dan Pabrik Es.

Bahkan upaya perebutan atau permintaan senjata kepada Jepang di Markas Kidobutai pun direncanakan dari Bodjong 89. Permintaan senjata yang akhirnya dilakukan secara alot oleh Mayor Kido ini memicu Pertempuran 5 Hari. Karena rakyat Semarang marah setelah mengetahui ternyata yang diberikan adalah senjata rusak.

Gedung Djawa Hookokai yang merupakan gedung pertemuan masyarakat pribumi (Indonesia) itu, kini menjadi Kampus Fakultas Hukum Untag 17 Agustus 1945, di Jalan Pemuda No 70 Semarang, dikutip dari inewsjateng.

Pos terkait