Peringati Bulan Sura, Pegiat Umah Wayang Purbalingga Membersihkan Petilasan Raden Surawijaya

IMG 20220731 154423

Mercusuar.co, Purbalingga – Dalam rangka memperingati tahun baru Jawa pada bulan Suara tahun Saka 1945 atau bulan Mukharam 1444 Hijriyah, masyarakat Desa Selakambang, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga berencana menggelar kirab yang berpusat di obyek wisata Watu Kambang. Namun sebelum pelaksanaan kegiatan tersebut pegiat Umah Wayang Kemulusan, Dukuh Beji, Desa Selakambang terlebih dahulu melakukan bersih lingkungan Watu Kambang, di mana di lokasi tersebut terdapat petilasan Raden Surawijaya, Minggu (31/7/2022).

Pemangku Adat dan Pendiri Umah Wayang Kemukusan Desa  Selakambang, Kusno mengatakan, Watu Kambang merupakan batu besar yang dahulunya terapung di permukaan air, sehingga disebut Watu Kambang. Nama Watu Kambang sendiri dipercaya oleh masyarakat Desa Selakambang sejak tempat tersebut ditempati oleh seorang Senopati dari Kerajaan Majapahit dimasa kepemimpinan Raja Brawijaya 5.

“Di masa pemerintahan Brawijaya 5, Raden Sutawijaya mendapat perintah dari Sang Raja untuk datang ke Demak agar membawa pulang Raden Patah ke Majapahit. Namun Raden Surawijaya gagal membujuk Raden Patah pulang ke Majapahit,” cerita Kusno.

Pada ahirnya, kegagalan Raden Surawijaya  membawa pulang Raden Patah ke kerjaan ayahnya, Brawijaya 5, membuat Raden Surawijaya tidak berani pulang ke Majapahit. “Raden Surawijaya merasa takut nantinya akan menerima marah sang Raja karena gagal membujuk Raden Patah pulang ke Majapahit. Kemudian  Raden Surawijaya memutuskan untuk tidak pulang ke Majapahit, namun pergi ke arah blang kulon (arah barat). Dalam perjalananya Raden Surawijaya mencari tempat yang bisa untuk berteduh. Dalam pencarian trsebut Raden Sutawijaya menemukan batu besar yang terapung di atas air sungai Lebak di arah selatan sungai Gintung. Kemudian Raden Surawijaya beristirahat di bawah batu tersebut untuk meditasi, minta petunjuk atau perlindungan agar tidak diketahui prajurit Majapahit,” terang Kusno.

Namun sebelumnya, lanjut Kusno, sebelum Raden Surawijaya pergi meninggalkan Demak untuk berkelana ke arah barat. Raden Surawijaya sempat memberikan wejangan (pesan) kepada Raden Patah agar bisa menjadi Pemimpin Tanah Jawa melalui mendirikan Keraton Demak. Hal itu disampaikan karena saat terjadi pertarungan (adu kesaktian), Raden Patah berhasil menebas rambut panjangnya Raden Surawijaya yang terurai panjang.

“Rambut Raden Surawijaya yang terpotong itu tiba-tiba berubah menjadi burung kuntul (bangau) yang warnanya putih dan kakinya hitam.  Saat itu pula Raden Surawijaya berpesan pada Raden Patah agar mendirikan Kesultanan Demak, karena terlihat Raden Patah merupakan trah Majapahit yang ketitisan Wahyu Keprabon (cikal bakal pemimpin tanah Jawa yang akan menurunkan pemimpin-pemimpin tanah Jawa berikutnya). Namun ada satu pesan penting yang harus dilakukan Raden Patah sebelum mendirikan kasultanan Demak, yaitu agar Raden Patah menunaikan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di Mekah, istilahnya Raden Patah harus menunaikan ibadah haji terlebih dahulu untuk menyempurnakan rukun Islam yang ke 5,” jelas Kusno.

Kembali ke persoalan Raden Surawijaya setelah berada di Watu Kambang, menurut pendiri Umah Wayang di Desa Selakambang ini, Raden Surawijaya ahirnya menetap di Watukambang. Maka untuk menjadi sejarah yang bisa diketahui masyarakat, di komplek Watukangan dibuatkan petilasan Raden Surawijaya sebagai tanda bahwa yang pertamakali menemukan atau menepati Watukambang sebagai tempat bersemedi, bertapa atau bahkan menlajutkan kehidupan setelah meninggalkan kerjaan Majapahit adalah Raden Surawijaya, seorang Senopati dari Majapahit.

“Agar cerita ini secara turun temurun disejarahi oleh masyarakat, maka dibuatkan Gasebo Petilasan Raden Surawijaya. Dan bersamaan dengan peringatan 1 Sura petilasan tersebut dibersihkan, termasuk nyuceni (membersihkan) Watukambang sebagai ikonnya Desa Selakambang,” pungkasnya.(Angga)

Pos terkait