Ki Ageng Makukuhan Orang Pertama Menanam Tembakau di Temanggung

Ki Ageng Makukuhan Orang Pertama Menanam Tembakau di Temanggung
Ki Ageng Makukuhan Orang Pertama Menanam Tembakau di Temanggung

Mercusuar.co – Berbicara Sejarah tembakau di Jawa tengah tentunya identik dengan Kabupaten Temanggung. Daerah tersebut kaya akan hasil pertanian tembakau dan manjadi salah satu daerah penghasil tembakau terbaik. Terbesit dibenak siapakah orang pertama menanam tembakau ?

Tembakau di Temanggung juga erat kaitannya dengan Ki Ageng Makukuhan. Dikutip dari sebuah artikel di internet bahwa masyarakat Temanggung percaya bahwa Ki Ageng Makukuhan adalah orang pertama yang menanam tembakau di lereng Gunung Sumbing – Sindoro tepatnya di Dusun Lamuk, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung.

Bacaan Lainnya

Konon, dahulu ketika masyarakat akan memasuki masa panen Ki Ageng Makukuhan mengajak para petani melakukan doa bersama meminta keberkahan kepada Allah SWT, menggunakan tradisi spiritual slametan.

Tradisi memohon keberkahan kepada Allah SWT menjelang tanam tembakau tetap dijalankan secara rutin di hampir seluruh wilayah Kabupaten Temanggung. Pun begitu Desa Legoksari merupakan pusat tembakau srinthil yang berkualitas.

Siapa Ki Ageng Makukuhan

Pada masa awal berdirinya Kerajaan Demak. Ada seorang pemuda ber-etnis Tionghoa, yang sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama pemuda tersebut MA KUW KWAN, namun oleh Sunan Kudus, dia diberi nama baru yakni Syarif Hidayat.

Meski demikian, Sunan Kudus masih sering memanggil dengan nama aslinya, karena dia memang merupakan salah satu santri kesayangan Sunan Kudus. Karena selain memang mereka berasal dari etnis yang sama, Ma Kuw Kwan merupakan salah satu dari sembilan santri Sunan Kudus yang paling tinggi ilmunya. Dalam perjalanan hidupnya, Ma Kuw Kwan juga pernah menimba ilmu dari Sunan Kalijaga.

Yaitu saat Ma Kuw Kwan harus melarikan diri dari Prajurit Kerajaan Capiturang pimpinan Gagaklodra yang hendak membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak, saat itu Ma kuw Kwan menggunakan nama samaran Jaka Teguh. Selain mendapat tambahan ilmu agama, Ma Kuw Kwan juga diajari cara bercocok tanam oleh Sunan Kalijaga, juga beberapa ilmu kanuragan, termasuk ilmu untuk terbang.

Sunan Kalijaga sengaja mengajarkan cara bercocok tanam, agar Ma Kuw Kwan menyebarkan agama melalui media pertanian. Sedangkan ilmu kanuragan, memang diperlukan untuk menjaga diri selama melakukan perjalanan. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan Kalijaga menugaskan Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan agama di daerah Kedu, hingga akhirnya Ma Kuw Kwan bermukim di Desa Pendang.

Disini Ma Kuw Kwan mulai aktif menyebarkan agama Islam. Meski demikian, sesuai petunjuk Sunan Kalijaga, Ma Kuw Kwan lebih banyak mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Sedangkan dalam mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh.

Misalnya, saat tiba waktu dhuhur di sawah, Ma Kuw Kwan tak segan-segan untuk meminta air wudhu dari warga dan sengaja melaksanakan sholat di tempat terbuka. Tujuannya agar dilihat orang. Dan saat ada orang yang penasaran dan bertanya tentang yang dilakukannya.

Ma Kuw Kwan menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah berdoa, memohon berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panen Ma Kuw Kwan benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan memeluk agama Islam.

Dengan cara yang santun dan membawa manfaat langsung seperti tersebut diatas, banyak warga yang bersimpati dan mengikuti ajaran Ma Kuw Kwan. Hingga dalam waktu singkat dia mendapatkan banyak pengikut, nama Ma Kuw Kwan makin disegani sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan pertanian. Oleh para pengikutnya, dia mendapat julukan Ki Ageng Kedu, atau juga sering disebut dengan nama aslinya, Ki Ageng Ma Kuw Kwan, namun lebih mudah dengan menyebut KI AGENG MAKUKUHAN.

Nama harum Ki Ageng Makukuhan akhirnya terdengar oleh telinga Sunan Kudus. Mengetahui tanah di Kedu sangat subur, Sunan Kudus mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanti untuk mengirimkan bibit padi jenis Rajalele dan Cempa, serta bibit tanaman tembakau.

Namun setelah sampai di Kedu dan menyerahkan bibit tanaman yang diberikan Sunan Kudus, Bramanti tak mau pulang ke Pondok Pesantren Glagahwangi, tetapi memilih mengabdi pada Ki Ageng Makukuhan. Setelah beberapa waktu, Ki Ageng Makukuhan mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah di Desa Balongan atau Mbalong, serta menyebarkan agama disana.

Bramanti menyebarkan agama Islam di daerah Parakan. Seperti halnya Ki Ageng Makukuhan, Bramanti dengan cepat mendapatkan banyak pengikut hingga oleh para pengikutnya Bramanti diberi gelar Ki Ageng Parak. Seiring berjalannya waktu, lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan makin luas. Padi jenis Rajalele dan Cempa yang ditanamnya telah banyak digemari oleh warga masyarakat karena selain pulen, rasanya juga enak.

Sedangkan tembakau digunakan untuk menyelingi tanaman padi saat musim kemarau. Pada saat Ki Ageng Makukuhan sedang menanam tembakau, sekali lagi datang utusan Sunan Kudus yang menyampaikan pesan agar Ki Ageng Makukuhan datang menghadap Sunan Kudus, untuk melaporkan perkembangan penyebaran agama di Kedu, serta hasil panen dari bibit yang diberikannya.

Namun karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup banyak, dan khawatir akan layu jika ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka Ki Ageng Makukuhan terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian memenuhi undangan Sunan Kudus.

Karena merasa telah terlambat, Ki Ageng Makukuhan tidak menempuh jalan darat, melainkan terbang menggunakan ilmu yang diajarkan Sunan Kalijaga. Sesampai di Pondok Pesantren Glagahwangi, Ki Ageng Makukuhan tak langsung turun, melainkan terbang mengelilingi masjid untuk mencari tempat pendaratan yang aman.

Namun aksinya keburu dilihat oleh Sunan Kudus. Mengira Ki Ageng Makukuhan sedang pamer ilmu, Sunan Kudus menyuruh salah satu santrinya untuk melemparkan nyiru/tampah yang berada didekatnya.

Namun bukannya menghindar, Ki Ageng Makukuhan justru menaiki nyiru tersebut untuk terbang. Marahlah Sunan Kudus melihat kelakuan muridnya itu. Beliau mengambil kerikil dan dilemparkan kearah Ki Ageng Makukuhan hingga jatuh. Ki Ageng Makukuhan merasa malu dan memohon maaf pada Sunan Kudus, sembari menjelaskan duduk persoalannya. Untunglah, Sunan Kudus memaklumi dan memaafkannya.

Malamnya, setelah Ki Ageng Makukuhan melaporkan perkembangan penyebaran agama yang dilakukannya, beliau juga sempat menjelaskan bahwa bibit padi yang diberikan oleh Sunan Kudus telah menjadi tanaman yang sangat diminati para petani.

Namun tembakau yang beliau tanam di daerah Kedu, kurang menghasilkan rasa yang mantab sehingga harga jualnyapun kurang bagus.

Ki Ageng Makukuhan meminta petunjuk Sunan Kudus untuk masalah ini. Sunan Kudus membantu Ki Ageng Makukuhan mencarikan lokasi yang baik untuk bercocok tanam tembakau. Beliau mengambil sebuah RIGEN, yaitu anyaman bambu yang tidak terlalu rapat, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran +/- 2 x 1 m3.

Rigen tersebut dilamparkan oleh Sunan Kudus ke arah Kedu, lalu menjelaskan bahwa lokasi sekitar jatuhnya Rigen tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk menanam tembakau. Sunan Kudus juga menjelaskan, jika setelah tembakau ditanam, malam harinya dari tanah tersebut seperti memancarkan sinar, maka hasil panen dari sawah yang memancarkan sinar ini akan memiliki kualitas yang sangat istimewa.

Belakangan, RIGEN digunakan oleh masyarakat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang/ diiris tipis-tipis. Dan warga menyebut sawah yang memancarkan sinar sebagai NDARU RIGEN. Karena mereka beranggapan bahwa tanah mendapatkan berkah dari rigen yang dilemparkan Sunan Kudus.

Tembakau dan Desa Legoksari Kabupaten Temanggung

Setelah kembali ke Kedu, Ki Ageng Makukuhan mencari lokasi jatuhnya rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Ternyata, rigen tersebut jatuh di lereng Gunung Sumbing. Saking tingginya ilmu kesaktian Sunan Kudus, tanah tempat jatuhnya rigen yang dilemparkannya sampai melesak ke dalam ( bhs. Jawa : legok ), kini makin banyak warga yang bermukim di lokasi tersebut dan telah menjadi sebuah kampung yang diberi nama LEGOKSARI.

Kini Legoksari masuk kedalam wilayah desa Lamuk Kecamatan Tlogomulya Temanggung. Di sinilah Ki Ageng Makukuhan pertama kali membuka lahan pertanian tembakau di Lereng Gunung Sumbing – Sindoro.

Saat pertama kali akan memulai/wiwit penanaman tembakau, Ki Ageng Makukuhan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama berkumpul di sawah, karena hendak diajari cara bercocok tanam tembakau, maklumlah, warga memang belum mengenal tanaman ini sebelumnya.

Namun sebelum mengajarkan cara bercocok tanam, terlebih dahulu Ki Ageng Makukuhan mengajak warga untuk mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tembakau yang mereka tanam bisa memberikan hasil panen yang memuaskan. Acara dilanjutkan dengan makan bersama sambil menikmati jajanan pasar, buah-buahan dan kopi kental, minuman kegemaran Ki Ageng Makukuhan.

Hal ini sengaja dilakukan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam, tujuan utama Ki Ageng Makukuhan. Sampai kini, warga masih selalu melakukan acara WIWIT, selain untuk melestarikan apa yang telah dicontohkan oleh Ki Ageng Makukuhan, juga untuk mengharapkah berkah dari Tuhan. Sekarang, pada acara tersebut warga masyarakat membuat TUMPENG ROBYONG.

Yaitu tumpeng dari beras hitam yang dibentuk kerucut menyerupai Gunung, dilengkapi lauk pauk yang lengkap, yaitu ingkung ayam utuh, pepes teri teri, telur dadar dan lauk pauk lain seperti tempe tahu goreng, serta jajanan pasar dan buah-buahan, tentu tak ketinggalan kopi kental tanpa gula, yang kesemuanya itu merupakan menu kegemaran Ki Ageng Makukuhan.

Warga masyarakat akan tumpek blek disawah, tak peduli lelaki perumpuan, tua ataupun muda, semua melakukan acara memulai musim tembakau, warga menyebutnya AMONG TEBAL, selain untuk mengharap berkah tentu juga untuk kerukunan antar warga. Saat tembakau telah dipanen dan dirajang, disinilah letak perbedaan tembakau dari sawah yang mendapat ndaru rigen dan dari lokasi yang lain.

Tembakau dari tanah biasa jika dirajang akan jatuh dan menyebar/ambyar, sedangkan tembakau yang berasal dari sawah yang mendapat ndaru rigen, setelah dirajang justru menggumpal atau nyrintil, maka warga menamakan tembakau jenis ini sebagai TEMBAKAU SRINTIL.

Konon, tembakau srintil ini memiliki kualitas dan rasa yang sangat istimewa bagi para penikmatnya. Tak heran, harganyapun juga istimewa, bisa ratusan kali lebih mahal dari harga tembakau biasa. Namun sayangnya, ndaru rigen tidak selalu terjadi pada setiap musim dan di semua lokasi.

Sehingga tak setiap tahun warga bisa menikmati hasil melimpah dari tembakau srintil. Tapi bukan tidak mungkin, justru itulah alasan warga tetap melestarikan tradisi acara wiwit, dengan harapan sawahnya bisa mendapatkan ndaru rigen dan menghasilkan tembakau srintil.

Memiliki nama latin Nicotiana tabacum, diduga tanaman ini berasal dari Amerika Selatan atau Amerika Utara. Kirakira pada awal abad ke16, tembakau masuk ke Pulau Jawa.

Sejarah Tembakau Masuk ke Jawa

Mengutip literatur litbang pertanian indonesia Berdasarkan naskah Jawa, “Babad Ing Sangkala” disebutkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga pada tahun 1523 Saka atau tahun 1602 Masehi.

Sejak pengenalan sampai dengan tahun 1830an, pengusahaan tembakau pada dasarnya dilaksanakan secara kecilkecilan oleh petani dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan persembahan kepada penguasa.

Pada periode berikutnya tepatnya pada tahun 1857 George Berni mulai mengembangkan tembakau cerutu di daerah eks Karesidenan Besuki, tepatnya di daerah Jember dan seki tarnya (PT Perkebunan XXVII, 1992). Selain di daerah Jember tembakau cerutu juga dikem
bangkan di daerah Deli dan Surakarta, semuanya diekspor ke Eropa.

Untuk tembakau rakyat pengembangannya sangat tergantung pada pasar lokal. Menurut
Rumphius (Subangun dan Tanuwidjojo, 1993) sekitar tahun 1650 penanaman tembakau dapat di
jumpai di banyak wilayah Indonesia. Areal tembakau berskala luas didapatkan di daerahdaerah
seperti Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan.

Tembakau yang dikembangkan di wilayah eks Karesidenan Kedu selanjutnya disebut tem
bakau Kedu. Areal penanamannya menyebar di lereng Gunung Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan
Prahu masingmasing masuk wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Ken
dal. Pada tahun 1940 areal tembakau di wilayah daerah Propinsi Jawa Tengah seluas 65.000 hektar, lebih dari 30.000 hektar terdapat di wilayah eks Karesidenan Kedu.

Pusat pengembangan dan pengolahan yang sekaligus sebagai pusat pemasaran tembakau kedu
adalah di wilayah Kabupaten Temanggung. Areal tembakau di Kabupaten Temanggung sekitar
20.000 hektar yang sebagian besar menyebar di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro.

Tembakau kedu yang berada di luar wilayah Kabupaten Temanggung seluruhnya dijual di Temanggung dalam bentuk daun hijau. Oleh karena itu selanjutnya tembakau kedu yang berasal dari wilayah Kabu paten Temanggung disebut tembakau temanggung, sedang yang berasal dari luar Temanggung dise but temanggungan.

Dalam pengolahannya menjadi tembakau rajangan, kedua jenis tembakau tersebut dicampur, produk tembakau rajangan yang diperoleh dengan merk dagang tembakau temanggung.

Khusus tembakau dari Kabupaten Wonosobo sebagian kecil diolah menjadi tembakau ga
rangan, sebagai bahan rokok tradisional (lintingan). Bagi konsumen pencampuran tersebut bukan
merupakan masalah, bahkan kemungkinan justru merupakan usaha petani/pedagang untuk me
menuhi selera konsumen. Karena pasar tembakau rajangan tidak membedakan antara tembakau te
manggung dan temanggungan, beberapa pihak berpendapat bahwa tembakau kedu lebih tepat disebut tembakau temanggung.

Pos terkait