Keresidenan Kedu dari Masa ke Masa

Keresidenen Kedu
Keresidenen Kedu

Keresidenan Kedu sudah memulai perjalanan sejarahnya semenjak sekitaran era VIII. Pada periode itu berkuasa Kerajaan Mataram Lama yang hasilkan beragam kreasi bersejarah.

Sesudah alami periode jaya sekitaran dua era, Mataram Lama lenyap peluang karena letusan gunung berapi, nama Kedu juga lenyap dari catatan riwayat sepanjang beratus-ratus tahun.

Baru sesudah ada Kerajaan Mataram Baru yang terpusat di Yogyakarta dan semenjak awalnya era XVII mulai kuasai pulau Jawa, Kedu jadi daerah Mataram yakni daerah nagaragung atau wilayah pokok kerajaan langsung diperintah oleh pusat.

Sebagai daerah nagaragung, wilayah kedu terdiri jadi tanah Bumi dan tanah Bumijo. Tanah Bumi selebar 7.500 cacah berada di samping barat sungai Progo ada di bawah kuasa Wedana Bumi. Tanah Bumijo dengan luas yang serupa berada di samping timur sungai Progo ada di bawah kuasa Wedana Bumijo.

Tetapi realitanya, Kedu tidak diperintah dengan seorang penguasa tetapi oleh sebagian orang demang yang mengurusi permasalahan pajak dan permasalahan umumpada subdaerah tertentu, dan untuk permasalahan keamanan diberikan ke seorang gunung.

Beberapa demang dan mantri dusun itu bertanggungjawab langsung pada beberapa taat yakni petinggi yang kuasai lungguh di wilayah Kedu dan sewakannya pada demang itu.

Seterusnya Kedu terdiri dari kavling-kavling sawah atau tegal yang disebut lungguh beberapa priyayi Mataram. Penguasa tidak menginginkan kepenguasaan lungguh seorang yang terlampau luas pada sebuah kesatuan teritorial karenanya bisa menyebabkan terciptanya pangkalan kemampuan ekonomis dan militer pada penguasa lungguh.

Untuk menghindar hal seperti itu, raja memberi lingguh di beberapa dusun yang terpencar-pencar. Kondisi ini mengakibatkan kerap berlangsungnya perselisihan di desa-desa. Keadaan perselisihan di dusun jadi makin tajam sesudah pecahnya perlawanan Pangeran Mangkubumi pada Sunan Pakubuwono II yang jadikan Mataram terhitung Kedu terdiri dua pada 1755.

Setengah dari pejabat-pejabat dipindanhkan ke Kasultanan Yogyakarta sedang setengah yang lain masih tetap di Kasunanan Surakarta. Mengakibatkan terjadi bertumpang-tindih tanah lungguh beberapa petinggi Yogyakarta dan Surakarta.

Kondisi perdesaan Kedu sesudah terdiri jadi dua daerah kerajaan semakin riskan. Perselisihan-konflik lama dipertajam oleh sentimen sebagai kalangan kerajaan masing-masing. Ditambah lagi dengan semakin mengembangnya birokrasi ke-2 kerajaan semakin juga jumlah karyawan yang memiliki arti semakin banyak lungguh harus disiapkan.

Eksplorasi lungguh oleh beberapa taat berbentuk pungutan pajak yang tinggi mengakibatkan beberapa bekel (pemungut pajak) diganti oleh orang lainyang mampu memberikan pajak yang semakin tinggi. Penggantian bekel ini menambahkan tajamya perselisihan di desa-desa, hingga umum terjadi perang dusun.

Pada akhirnya sesudah Sultan Hamengkubuwono II tidak berhasil lakukan serangan pada kekuasaan Inggris tahun 1812, Inggri menggempur Keraton Ngayogyakarta dan memaksakan sultan terima persyaratan yag disodorkannya, diantaranya beberapa daerah nagaragung harus diberikan pada Inggris terhitung Kedu. Semenjak itu Kedu jadi keresidenan dan masih diperintah oleh Residen Pekolongan.

Pada periode akhir pemerintah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, bupati untuk Kedu ialah Tumenggung Ranudiwirya. Pada periode pemerintah Inggris di Kedu, Residen Crawfurd memberi kuasa pada kapitan Cina dalam sektor pajak dan keuangan lumayan besar seperti pada periode Mataram.

Walau begitu, pemerintahan Inggris masih tetap mengusung orang Jawa dari kelompok bangsawan sebagai bupati seperti Bupati Magelang Danuningrat yang dari Kepatihan Kasultanan Yogyakarta. Tahun 1816, Kedu diberikan pada pemerintahan Belanda dan tahun 1817 jadi keresidenan sendiri.

Kesatuan Dusun dan Mekanisme Lungguh

Daftar isi

Di awal era XIX, jumlah warga Kedu sejumlah 197.310 jiwa dengan kepadatan warga 92 jiwa/km², ke-2 paling tinggi sesudah Keresidenan Semarang (108 jiwa/km²).

Penguasa Mataram memakai mekanisme lungguh untuk menggaji beberapa priyayi atau memberikan nafkah beberapa sentana. Dalam masalah ini raja memberi hak mengambil pajak atau hasil atas tanah yang berfdari 5 sampai 20 dusun di bawah seorang penatus, masing-masing dusun dipimpin dengan seorang bekel yanng otonom.

Pemerintah Dusun dan Lapisanan Warga

Pada periode itu, seorang bekel diangkat oleh penguasa lungguh. Pengangkatan ini terkait dengan pengesahannya sebagai pemungut pajak kerajaan dan pengontrak lungguh. Eksplorasi lungguh yang maikn berat, dalam makna uang kontrak yang makin tinggi sedikit mengakibatkan dusun terpecah jadi beberapa lungguh.

Menurut Residen Valck, kedudukan Bekel selanjutnya dilelang ke siapa yang mampu bayar kontrak paling tinggi hingga kedudukan bekel tak lagi tetap. Beberapa dari beberapa demang sebagai orang Cina walau cuma 13% dari semua demang. Munculnya demang Cina menurut Crawfurd karena beberapa dari taat turut serta utang pada pachter Cina, hingga mereka mengagunkan lungguh mereka ke orang Cina itu.

Desa-desa di Kedu secara umum sebagai satu barisan permukiman yang memiliki teritorial tertentu betapapun kecilnya, di bawah seorang kades yang memiliki kuasa menarik pajak warga dan kuasa di bagian keamanan dan sosial. Seterusnya mekanisme ekonomi feodalistik Mataram yang kehilangan perdagangan lautnya semakin berpikiran di dalam, ke pajak natura.

Pada periode sesudah palihan nagari tahun 1755, kerja harus rakyat Mataram tidak demikian banyak. Ini karena tidak ada perang saudara dalam jumlah besar, hingga harus prajurit dan mobilisasi rakyat untuk memberikan dukungan perang benar-benar menyusut. Selainnya kerja wajib buat raja dan taat yang memiliki sifat kejadiantal, rakyat nikmati cukup kebebasan.

Penguasa Tanah

Posisi sikep yang lumayan kuat terlihat pada hak kepenguasaan tanah. Dalam masalah ini ada tiga faksi yang sama memiliki kekuasaan, yakni petani yang buka tanah raja sebagai penguasa atau mereka yang mendapatkan kuasa dari raja dan instansi dusun.

Dalam adat petani Kedu, mereka yang buka tanah pertama kalinya jadi tempat pertanian memiliki hak untuk menguasainya secara tetap dan mewarisinya pada turunannya. Lebih jauh petani bisa buka sawah yasa di atas tanah bebas sepanjang mereka mengongkosi sendiri pembangunan sawah itu.

Raja ialah seseorang yang kuasai baik warga atau semua tanah yang ada diwilayah kekuasaannya. Pada intinya raja mengambil pajak tenaga kerja, selanjutnya berkembang jadi kerja harus besar pada periode penjajahan. Raja cuma memiliki hak punya penuh atas tanah yang disiapkan untuk ongkos hidupnya dan sanak keluarganya. Tanah itu dibuat jadi tanah pertanian atas ongkos sendiri yakni siti narawita dalam.

Hak petani atas tanah yang lumayan kuat terlihat juga dari usaha mereka untuk menempati tanah-tanah sisa lungguh yang hancur karena perang susksesi yang umum terjadi. Sebagai akibatnya karena pernag itu banyak pemegang lungguh yang wafat atau dihentikan. Beberapa petani selanjutnya bersama membenahi sawah-sawah itu dan mekanisme irigasinya.

Faksi yang lain memiliki kekuasaan dalam permasalahan tanah ialah dusun, yang diwakilkan oleh kades. Kades terima dan atur sawah yang ditinggal baik karena sang pemegang berpindah dari dusun itu atau wafat tanpa memiliki pewaris.

Mekanisme Perpajakan

Karena eksplorasi lungguh yang semakin berat di Kedu semakin bertambah tipe pajak yang dahulu berwujud natura diganti manjadi pajak uang. Selainnya menanam beras yang diperjualbelikan, mereka menanam tembakau yang bagus kwalitasnya dan jadi bahan perdagangan sampai keluar negeri. Uang hasil perdagangan dipakai untuk bayar pajak dan cukai.

Tipe pajak pada periode kerajaan Yogyakarta dan Surakarta terbagi dalam pajeg yakni pajak tanah yang bisa dibayarkan dengan uang atau natura. Seterusnya pajak-pajak lain ditetapkan berdasar standard sawah per jung.

Pungutan tipe ini bisa benar-benar berbagai macam dan dilaksanakan setiap saat. Mekanisme begitu pajeg idup yakni pajak masih tetap yang ditambahkan beragam pungutan setiap saat. Ada pajeg mati yakni pajak yang diakui dengan semua pungutan lain dibayarkan berbentuk uang.

Penekanan pajak peling berat ialah pada tanah lungguh karena tingginya bimbingan dari taat, terlebih karena ada eksplorasi bertingkat, dimulai dari taat, demang, dan dari bekel sendiri. Selainnya pajak-pajak itu warga harus bayar pajak bandar pelawang, yakni cukai untuk tiap barang yang diangkut lewat pintu gerbang khusus. Selain itu ada pajak pasar untuk semua barang yang dipasarkan di pasar.

Kerja Wajib

Selainnya kewajiban bayar pajak, beban petani penguasa tanah ialah jalankan kerja harus atau krigaji. Krigaji datang dari kata tugas yang sudah dilakukan secara bersama (kerig) untuk kebutuhan raja (aji).

Dengan semakin mengembangnya tipe kerja harus karena itu istilah krigaji menyempit menajadi kerja harus di bagian tugas umum. Pada hakekatnya kerja harus ialah sisi dari pajak natura yang diakui dengan jumlah pajak keseluruhnya. Oleh karena itu kerja harus bisa ditukar dengan beberapa uang.

Ingat posisi kerja harus sebagai pajak alternative yang tidak dikenai pada tiap dusun, karena itu terang beban kerja harus ini tidak rata dan cuma beberapa kecil saja dusun yang menanggung beban khusus. Tuntutan kerja harus dari taat untuk kebutuhan individu hanya kejadiantal serta lebih memiliki sifat sambatan.

Deskripsi begitu memperlihatkan jika kekuasaan dusun sebagai instansi pemerintah masih kendur dalam makna belum mengikat masyarakat dusun yang berbagai macam pekerjaan hingga masyarakat dusun nikmati banyak kebabasan waktu, tenaga dan kebebasan memakai tanahnya.

Birokrasi Mataram belum meningkatkan aparatur teritorial di beberapa daerah yang mencapai perdesaan. Pemerintah di wilayah diberikan pada penguasa wilayah yang dalam realita cuma terdiri dari mantri dusun atau demang dusun dengan pendanaan berdikari. Selainnya tuntutan pajak, pemerintahan Mataram melepaskan dusun untuk mengurusi dirinya.

Penyempurnaan kelembagaan pada periode pemerintah inggris

Kekuasaan barat yang semakin menekan kerajaan mataram, baik dengan kuasai daerah-daerah vital atau terlibat di bagian pemerintah mataram mengakibatkan berlangsungnya keadaan perselisihan yang berkelanjutan di antara pemerintahan Belanda dan beberapa raja mataram. Khususnya kasultanan Yogyakarta di bawah sultan Hamengkubuwono II (sultan sepuh) selalu coba melawan kekuasaan barat. Karena pertentangan ini Daendels memakzulkan sunan sepuh dan mengusung puteranya sebagai Hamengkubuwono III.

Selang beberapa saat Sultan sepuh sukses menempati tahta kembali saat inggris menempati jwa pada tengah tahun 1811. sultan usaha mengahncurka pasukan inggris di yogyakarta. Usaha ini usai dengan serangan inggris ke kraton dan pembuangan Sultan sepuh ke Pulau Pinang.

Inggris selanjutnya mengusung kembali Sultan Hamengkubuwono III dan memaksa beragam konsesi politik dan ekonomi dalam kesepakatan tahun 1812. Diantaranya wilayah Kedu, baik sisi yang dipunyai kesultanan atau kesunanan, harus diserahakan ke inggris.

Di bawah kekuasaan inggiris wilayah kedu dijanjikannya daerah administratif yakni keresidenan kedu. Hasil dari riset Crawfurd mendapati jika pajak unag di kedu telah cukup berkemabang, tetapi mekanisme pemungutannya tidak efektif karena kebanyakan mediator anatar petanipembayar pajak dan raja pemilik tanah.

Bedasarkan laporan Crawfurd dan laporan-laporan lain dari semua daerrah di jawa, Raffles memakai teori domein sebagai dasar, yakni jika raja ialah pemilik semua tanah. Atas dasar teori itu pemerintahan inggris sebagai alternatif raja mataram sewakan tanah di dusun ke bekel yang berperan sebagai kades.

Seterusnya bekel menarik sewa pada petni-petani menurut luas tanah dan tipe dan kualotas tanah, dan menyerahkan dasil sewa ke pemerintahan. Mekanisme ini disebutkan landrent mekanisme (Inggris) Atau landrente (Belanda).

Untuk melakukan sistem landrente itu pemerintahan inggris melangsungkan beragam peralihan. Pertama kali memutuskan semua tanah, seterusnya pemerintahan secara teoritis sewakan tanah-tanah itu ke bekel (kades). Beberapa kades itu selanjutnya sewakan ke petani dan bertanggungjawab untuk tarik uang sewa atas tanah pemerintahan.

Cara selanjutnya ialah menghapus beragam mediator antara pemungut pajak tingkat dusun dan penguasa colonial. Seterusnya beberapa demang dan bupati yang sudah dilepaskan dari kekuasaan fiscal diberi kuasa di bagian pemerintah dan keteraturan umum (kepolisian), dengan posisi lebih sebagai petinggi pemerintahan yang mnerima upah.

Dengan langkah ini pemerintahan inggris usaha memutus kekuasaan feodalistik jawa yang dipandang kebanyakan menggunting penghasilan negara dan kurang memiliki daya buat.

Perubahan peranan demang dari pengontrak pajak jadi kepala wilayah tidak juga menyebabkan perselisihan, sekurang-kurangnya secara terbuka dengan pemerintahan, walau secara resmi mereka terima upah lebih kecil dari penghasilan mereka dulu.

Ini dikarenakan oleh sacara sembunyi-sembunyi beberapa kepala pribumi ini masih lakukan pemerasan ke petani klien mereka sama dalam masa lampau untuk menambahkan penghasilan mereka. Perlakuan pemerintahan inggris untuk memutuskan bekel kades sebagai penarik pajak salah satu di dusun terang menguntukan kades.

Penerapan Landrente di kedu teernyata jalan cukup lancar. Prediksi penghasilan pajak yang diatur Crawfurd pada periode tahun 1812 sekitar 102.725 ¾ Spanish dollar mengahsilkan 112.000 spanish dollar (f 246.400) berbentuk uang tunai.

Mekanisme baru ini sedikit berlainan dengan pambayaran pajeg mati, yang umum dibayar oleh beberapa petani kaya ke bekel mereka. Beberapa petani sudah lama mengupayakan tanaman perdagangan, khususnya tembakau kedu untuk sumber uang kon5tan.

Kesuksesan mekanisme landrente di Kedu sebagai keresidenan pertama kali yang melakukan mekanisme pajak baru ini memberi kepercayaan pada pemerintahan inggris untuk memutuskan landrente di semua wilayah Gupernemen menyaksikan jika monetisasi belum berkembang dibanyak wilayah di pulau jawa.

Kesuksesan pemerintahan dalam tingkatkan Landrente rupanya didapat hasil dari pengorbanan mayoritas petani. Selainnya bayar landrente rakyat masih tetap bayar beberapa tipe pajak lama, anatara lain picumpleng yang sah dikenai dari mereka yang cuma mempunyai pelataran atau rumah.

Rakyat masih bayar pajak bandar dan pasar dan pajak tidak langsung seperti candu dan garam yang menajdai monopoli pemerintahan. Pada periode pemerintah inggris pembikinan prasarana di Kedu mulai digiatkan.

Perkemabangan pada periode pemerintah Belanda

Langkah awal yang sudah dilakukan pemerintahan ialah mengevaluasi kembali perselisihan politik penyempurnaan Raffles berkenaan pertahanan dan mekanisme landrente. Pemerintahan penjajahan belanda meneruskan mekanisme landrente, penyewaan tanah secara bebasa dan tanam bebasa untuk rakyat pribumi.

Pemerintahan penjajahan belanda memnetukan semua kebijakannya atas dasar penglihatan jika negeri koloni pertama kali harus memberi keuntungan untuk negeri induk. Pada pihak lain, beberapa ide liberal dan humanitarian mengharuskan pemerintahan membuat perlindungan rakyat dari penin dasan dan mengupayakan kemakmuran rakyat jajahan.

Pemerintahan selanjutnya mengambil langkah lebih jauh dengan memerintah rakyat menanam kopi dikebun-kebun yang luas sejk tahun 1820. dengan cara resmi dan sama sesuai ketentuan, pemerintahan sewakan tanah kebun kopi itu sepanjang 3 tahun beruntun.

Dengan pembukaan kebun-kebun kopi secara paksakan sebetulnya pemerintahan sudah menuntut kerja-wajib tanam pada rakyat. Petani tidak bisa kembali menanam kopi secara bebas, praktek pembayaran kopi sering bikin rugi rakyat.

Menrut ketentuan rkyat harus bayar pajak kopi sekitar 2/5 hasil dari panen tiap tahun sedang bekasnya bisa dipasarkan bebas di luar. Banyak terjadi peneyelundupan kopi keluar wilayah karena rakyat menghindar tuntutan pajak kopi yang tinggi. Dengan jual kopi di pasar bebas petani mendapatkan untung semakin besar.

Di lain sisi di bawah pemerintah penjajahan semakin diperkembangkan beragam prasarana seperti jalanan baru dan pengairan. Demikian juga pemerintahan mulai meningkatkan tata pemerintah wilayah yang makin terautur dan adminstrasi perpajakan yang semakin rapi dan termonitor.

Pemerintahan usaha menangani petinggi pribumi samapai bekel yang melakukan perbuatan nakal atau lalai akan pekerjaannya sejaug bisa dijumpai. Satu keuntungan lainnya ialah jika semenjak sebelumnya beberapa residen Kedu tidak menyepakati persewaan tanah ke orang Eropa.

Beberapa petinggi Eropa memandang petani Kedu sebagai pebisnis maju yang sanggup mengupayakan tanaman perdagangan dan responsive pada kebutuhan pasar. Mereka menyaksikan petani sebagai penanam temabakau kualitas tinggi secara professional dan datangkan keuntungan.

Kondisi yang begitu memperberat rakyat semakin diperparah oleh harga bahan dasar. Rakyat membenci orang Belanda sebagai pemicu tingginya pajak dan beratnya kerja-wajib. Target kedengkian rakyat diperuntukkan ke beberapa orang Cina. Rakyat memandang Cina patcher bandar sebagai pemeras uang rakyat di pintu gerbang cukai dan di beberapa pasar.

Perlawanan terjadi di tahun 1822 di bawah pangeran Diponsono, putra Sultan Hamengkubuwono I yang anti belanda. Pemebrontakan yang mulai terjadi di Dusun Bendo sempat membunuh beberapa orang belanda dan Cina saat sebelum sukses ditumpas dalam kurun waktu 2 hari.

3 tahun selanjutnya pecah perang Diponegoro dengan support semua rakyat petani, merusak ¾ wilayah Kedu. Sepanjang Perang Diponegoro rakyat Kedu semakin bertambah dikeluarkan oleh pemerintahan penjajahan untuk kebutuhan perang. Kerja-wajib lainnya ialah membenahi jalan-jaln dan jembatan-jembatan yang dirusak pasukan Diponegoro yang mencakup mayoritas wilayah Kedu.

Pos terkait