Azyumardi Azra Sebut DPD Antara Ada dan Tiada

WhatsApp Image 2022 01 27 at 08.37.34

MERCUSUAR.CO, Jakarta – Dalam acara diskusi Gelora Talk bertajuk “Penguatan Lembaga DPD. Masih Perlukah?”, Rabu (26/1). Azyumardi Azra mengungkapkan, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai belum mempunyai taring karena adanya pelemahan kewenangan DPD di tengah penguatan peran presiden dan oligarki partai politik di DPR.

Azyumardi menegaskan penguatan lembaga DPD sangat diperlukan. Pasalnya saat ini peran DPD dalam lembaga legislatif maupun eksekutif sangat lemah, termasuk di dalam UUD 1945, Pasal 22d.

Menurut Azyumardi, kehadiran DPD saat ini boleh dikatakan antara ada dan tiada karena tidak memiliki kewenangan legislasi yang memadai.

“Kemudian dalam praktik kenegaraannya juga tidak diberikan peluang. Adanya DPD itu seolah-olah tidak ada, diperlakukan begitu oleh MPR. Antara ada tapi tiada,” kata Azyumardi Azra.

Ia melihat ada beberapa Undang-Undang (UU) yang diterbitkan pemerintah bersama DPR yang merugikan kepentingan daerah tidak bisa dicegah DPD.

Mulai UU tentang dana bagi hasil, perubahan UU Minerba hingga UU Cipta Kerja. Kondisi ini telah membuat pemerintah melucuti kewenangan daerah.

“Lebih parah lagi, pemerintah pusat melucuti hak kedaulatan rakyat daerah, dengan alasan menunda pemilu dan pilkada. Sebanyak 272 kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota akan diangkat Plt (pelaksana tugas),” ujarnya.

Azyumardi menjadi salah satu orang yang menentang pengangkatan plt akibat penundaan pemilu yang seharusnya dilakukan 2022 menjadi serentak dilakukan di tahun 2024. Karena, dikhawatirkan plt yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah adalah kroni-kroni dari eksekutif maupun legislatif.

“Sudah bisa dipastikan itu. Kalau pun yang diangkat PNS, orang banyak khawatir, jangan-jangan diangkat juga TNI, Polri, mungkin pensiunan. Hal ini dilakukan untuk memastikan plt itu dapat memperjuangkan kepentingan, melindungi, memperjuangkan kepentingan oligarki politik yang ada di DPR maupun oligarki politik yang akan tercipta antara eksekutif dengan legislative, kecuali DPD,” jelas Azyumardi Azra.

DPD sendiri tidak masuk ke dalam oligarki politik antara pemerintah dan DPR karena posisinya lemah.

Selain itu, ia melihat executive heavy yang diterapkan di era Presiden RI ke-2 Soeharto juga telah diterapkan sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

Executive heavy adalah kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU.

“Apapun yang diinginkan Presiden tidak ada yang menentang, sama sekali tidak mempersoalkan. DPR sudah dikatakan orang sekarang cuma tukang stempel kemauan Presiden,” pungkasnya.

Pos terkait